Meski awalnya “membenci” Islam, gadis IOWA yang  tinggal di Connecticut ini pun akhirnya ‘jatuh cinta’ pada Islam. Ia,  akhirnya melafazkan syahadat
Sekitar awal September 2006 lalu,  kelas Islamic Forum for non Muslims kedatangan seorang gadis bule  bermata biru. Duduk di salah satu sudut ruang dengan mata yang tajam,  hampir tidak kerkedip dan bahkan memperlihatkan pandangan yang tajam.  Beberapa kali lolucen yang saya sampaikan dalam kelas itu, tidak juga  menjadikannya tersenyum.
Sekitar awal September 2006 lalu,  kelas Islamic Forum for non Muslims kedatangan seorang gadis bule  bermata biru. Duduk di salah satu sudut ruang dengan mata yang tajam,  hampir tidak kerkedip dan bahkan memperlihatkan pandangan yang tajam.  Beberapa kali lolucen yang saya sampaikan dalam kelas itu, tidak juga  menjadikannya tersenyum.Ketika sesi tanya jawab dimulai, sang gadis itu  mengangkat tangan, dan tanpa tersenyum menyampaikan  pertanyaan-pertanyaan yang menjadikan sebagian peserta ternganga, dan  bahkan sebagian menyangka kalau saya akan tersinggung dengan  pertanyaan-pertanyaan itu.
“If Muhammad is a true prophet, then why he robbed and killed?”, tanyanya dengan suara yang lembut tapi tegas. “Why he forced the Jews to leave their homes, while they have been settled in Madinah a long time before Muhammad was born?”, lanjutnya.
Sambil tersenyum saya balik bertanya, “Where did you  get this information? I mean, which book did you read”. Dia kemudian  memperlihatkan beberapa buku yang dibawanya, termasuk beberapa  tulisan/artikel yang diambil dari berbagai sumber di internet. Saya  meminta sebagian buku dan artikel tersebut, tapi justru saya tidak  menanggapi pertanyaan-pertanyaannya.
Saya balik bertanya, “Where  are you from and where do you live?”. Ternyata dia adalah gadis IOWA  yang sekarang ini tinggal di Connecticut.
Sambil memperkenalkan  diri lebih jauh saya memperhatikan “kejujuran” dan “inteligensia” gadis  tersebut. Walaupun masih belum bisa memperlihatkan wajah persahabatan,  tapi nampaknya dia adalah gadis apa adanya.
Dia seorang “saintis”  yang bekerja di salah satu lembaga penelitian di New York. Tapi  menurutnya lagi, dan sinilah baru nampak sedikit senyum, “I am an IOWAN  girl”. Ketika saya tanya apa maksudnya, dia menjawab: “a very country  girl”.
Oleh karena memang situasi tidak memungkin bagi saya untuk  langsung berdebat dengannya perihal pertanyaan-pertanyaan yang  dilemparkan, saya mengusulkan agar pertanyaan-pertanyaannya dikirimkan  ke saya melalui email, untuk selanjuntnya bisa berdiskusi lewat email  dan juga pada pertemuan berikutnya. Kelas sore itupun bubar, tapi  pertanyaan-pertanyaan gadis IOWA ini terus menggelitik benak saya.
Di  malam hari, saya buka email sebelum tidur sebagaimana biasa. Gadis IOWA  ini pun memenuhi permintaan saya. Ia memperkenalkan diri sebagai  Amanda. Ia mengirimkan email dengan lampiran 4 halaman penuh dengan  pertanyaan-pertanyaan –khususunya-- mengenai Rasulullah SAW. Saya sekali  lagi tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, tapi mengajak untuk  datang ke kelas Islamic Forum pada Sabtu berikutnya.Ternyata, mungkin dia sadari sendiri bahwa beberapa peserta Forum pada Sabtu tadi kurang sreg dengan pertanyaan-pertanyaannya yang dianggap terlalu “polos dan tajam”. Maka dia mengusulkan kalau saya bisa menyediakan waktu khusus baginya untuk diskusi. Sayapun menerima usulan itu untuk berdiskusi dengannya setiap Kamis sore setelah jam kerja di Islamic Center.
Kita pun sepakat bertemu setiap jam 5:30 hingga 7:00 pm. Satu setengah jam menurut saya cukup untuk berdiskusi dengannnya.
Tanpa  diduga, ternyata bulan Ramadhan juga telah tiba. Maka kedatangannya  yang pertama untuk berdialog dengan saya terjadi pada Kamis ketiga bulan  September 2006, di saat kita sedang bersiap-siap untuk berbuka puasa.
Dia  datang, seperti biasa dengan berkerudung seadanya, tapi kali ini dengan  sangat sopan, walau tetap dengan pandangan yang sepertinya curiga.
Kita  memulai diskusi dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah dikirimkan  lewat email itu. Ternyata, baru satu masalah yang didiskusikan, sesekali  diselingi sedikit perdebatan yang emosional. Adzan buka puasa telah  dikumandangkan. Maka dengan sopan saya minta izin Amanda untuk berbuka  puasa, tapi tidak lupa menawarkan jika ingin bergabung dengan saya.  Ternyata, Amanda senang untuk ikut makan sore (ikut buka) dan nampak  menikmati hidangan itu.
Setelah berbuka puasa, karena harus  mengisi ceramah, saya sampaikan ke Amanda bahwa diskusi kita akan  dilanjutkan Kamis selanjutnya. Tapi jika masih berkenan hadir, saya  mempesilahkan datang ke Forum hari Sabtu. Dia berjanji untuk datang.
Sabtu  berikutnya, dia datang dengan wajah yang lebih ramah. Duduk nampak  lebih tenang, tapi seolah masih berat untuk tersenyum. Padahal, diskusi  saya itu terkadang penuh dengan candaan. Maklumlah, selain memang  dimaksudkan untuk tidak menampilkan Islam dengan penuh “kaku” saya ingin  menyampaikan ke mereka bahwa Muslim itu juga sama dengan manusia lain,  bisa bercanda (yang baik), tersenyum, dan seterusnya.
Amanda  nampak serius memperhatikan semua poin-poin yang saya jelaskan hari itu.  Kebetulan kita membahas mengenai penciptaan Hawa dalam konteks  Al-Qur’an. Intinya menjelaskan bagaimana proses penciptaan Hawa dalam  prospektif sejarah, dan juga bagaimana Al-Qur’an mendudukkan Hawa dalam  konteks “gender” yang ramai diperdebatkan saat ini. Keseriusan Amanda  ini hampir menjadikan saya curiga bahwa dia sedang mencari-cari celah  untuk menyampaikan pertanyaan yang menyerang.
Ternyata sangkaan  saya itu salah. Kini Amanda sebelum menyampaikan pertanyaan justeru  bertanya dulu, “Is it ok to ask this question?”. Biasanya dengan tegas  saya sampaikan, “Nothing is to be hesitant to ask on any thing or any  issue in Islam. You may ask any issue range from theological issues up  to social ones”.
Amanda pun menanyakan beberapa pertanyaan  mengenai wanita, tapi kali ini dengan sopan. Hijab, poligami, konsep  “kekuasaan” (yang dia maksudkan adalah qawwamah), dll. Saya hampir tidak  percaya, bagaimana Amanda paham semua itu. Dan terkadang dalam  menyampaikan pertanyaan-pertanyaan itu disertai bukti-bukti yang  didapatkan dari buku-buku --yang justeru-- ditulis oleh para ulama  terdahulu.
Saya berusaha menjawab semua itu dengan  argumentasi-argumentasi “aqliyah”, karena memang saya melihat Amanda  adalah seseorang yang sangat rasional. Alhamdulillah, saya tidak tahu,  apakah dia memang puas atau tidak, tapi yang pasti nampak Amanda  mengangguk-anggukkan kepala.
Demikian beberapa kali pertemuan.  Hingga tibalah hari Idul Fitri. Amanda ketika itu saya ajak untuk  mengikuti “Open House” di rumah beberapa pejabat RI di kota New York.
Karena  dia masih kerja, dia hanya sempat datang ke kediaman Wakil Dubes RI  untuk PBB. Di sanalah, sambil menikmati makanan Indonesia, Amanda  kembali menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tajam. “If Islam respects  religious freedom, why Ahmadiyah in Indonesia is banned? Why Lia  Aminuddin is arrested?”.
Saya justeru terkejut dengan informasi  yang Amanda sampaikan. Saya pribadi tidak banyak membaca hal ini, dan  tidak terlalu mempedulikan. Maka saya jelaskan, dalam semua Negara tentu  ada peraturan-peraturan yang perlu dipatuhi. Ahmadiyah dan Lia  Aminuddian, jelas saya, bukan mendirikan agama baru tapi mendistorsi  agama Islam. Oleh karena mereka merusak agama yang diyakini oleh  masyarakat Muslim banyak, pemerintah perlu menertibkan ini. Kelihatannya  penjelasan saya kurang memuaskan, tapi diskusi kekudian berubah haluan  kepada makanan dan tradisi halal bihalal.
Singat cerita, beberapa  Minggu kemudian Amanda mengirimkan email dengan bunyi sebagai berikut,  “I think I start having my faith in Islam”. Saya hanya mengatakan, “All  is in God’s hands and yours. I am here to assist you to find the truth  that you are looking for”. Cuma, Amanda mengatakan bahwa perjalanannya  untuk belajar Islam ini akan mengambil masa yang panjang.
“When I  do some thing, I do it with a commitment. And I truly want to know  Islam”. Saya hanya menjawabnya, “Take you time, Amanda”.
Alhamdulillah,  setelah mempelajari Islam hampir tujuh bulan, dan setelah membaca  berbagai referensi, termasuk tafsir Fii Zilalil Qur’an (Inggris version)  dan Tafhimul Qur’an (English), dan beberapa buku hadits, Amanda mulai  serius mempelajari Islam.
Minggu lalu, ia mengirimkan email ke  saya. Isinya begini, “I have decided a very big decision..and I think  you know what I mean. I am very scared now. Do you have some words of  wisdoms?”.
![]()  | 
| muslim amirika | 
Saya menjawab, “Amanda, you have searched it, and now  you found it. Why you have to be scared?. You believe in God, and God is  there to take your hands. Be confident in what you believe in”.
Tiga  hari lalu, Amanda mengirimkan kembali emailnya dan mengatakan bahwa dia  berniat untuk secara formal mengucapkan “syahahat” pada hari Senin  mendatang (tanggal 5 Maret 2007 kemarin). Saya bertanya, kenapa bukan  hari Sabtu atau Ahad agar banyak teman-teman yang bisa mengikuti? Dia  menjawab bahwa beberapa teman dekatnya hanya punya waktu hari Senin.
Alhamdulillah,  disaksikan sekitar 10 teman-teman dekat Amanda (termasuk non Muslim),  persis setelah adzan Magrib saya tuntun ia melafazkan “Asy-hadu an laa  ilaaha illa Allah-wa asyhadu anna Muhammadan Rasul Allah”, diiringi  pekik takbir dan tetesan airmata beberapa temannya yang ikut hadir.  Amandapun melakukan shalat pertama sebagai Muslim sore itu diikuti  dengan doa bersama semoga Allah menguatkan jalannya menuju ridho Ilahi.  oleh M. Syamsi Ali.
Amanda, selamat dan semoga Allah SWT selalu  menjagamu dan menjadikanmu “pejuang” kebenaran! [www.hidayatullah.com]  New York, 6 Maret 2007

About the Author
0 komentar: