![]() |
MENGAKAR INDAH |
Bicara
tentang kejayaan peradaban Islam di masa lalu, dan juga jatuhnya kemuliaan itu
seperti nostalgia. Orang bilang, romantisme sejarah. Tidak apa-apa, terkadang
ada baiknya juga untuk dijadikan sebagai bahan renungan. Karena bukankah masa
lalu juga adalah bagian dari hidup kita. Baik atau buruk, masa lalu adalah
milik kita. Kaum muslimin, pernah memiliki kejayaan di masa lalu. Masa di mana
Islam menjadi trendsetter sebuah peradaban modern. Peradaban yang dibangun untuk
kesejahteraan umat manusia di muka bumi ini.
Masa kejayaan itu bermula saat Rasulullah mendirikan
pemerintahan Islam, yakni Daulah Khilafah Islamiyah di Madinah. Tongkat
kepemimpinan bergantian dipegang oleh Abu Bakar as-Shiddiq, Umar bin Khaththab,
Usman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, dan seterusnya. Di masa Khulafa
as-Rasyiddin ini Islam berkembang pesat. Perluasan wilayah menjadi bagian tak
terpisahkan dari upaya penyebarluasan Islam ke seluruh penjuru dunia. Islam
datang membawa rahmat bagi seluruh umat manusia. Penaklukan wilayah-wilayah,
adalah sebagai bagian dari upaya untuk menyebarkan Islam, bukan menjajahnya.
Itu sebabnya, banyak orang yang kemudian tertarik kepada Islam. Satu contoh
menarik adalah tentang Futuh Makkah (penaklukan Makkah), Rasulullah dan sekitar
10 ribu pasukannya memasuki kota Makkah. Kaum Quraisy menyerah dan berdiri di
bawah kedua kakinya di pintu Ka’bah. Mereka menunggu hukuman Rasul setelah
mereka menentangnya selama 21 tahun. Namun, ternyata Rasulullah justru
memaafkan mereka.
Begitu pula yang dilakukan oleh Shalahuddin al-Ayubi ketika
merebut kembali Yerusalem dari tangan Pasukan Salib Eropa, ia malah melindungi
jiwa dan harta 100 ribu orang Barat. Shalahuddin juga memberi ijin ke luar
kepada mereka dengan sejumlah tebusan kecil oleh mereka yang mampu, juga
membebaskan sejumlah besar orang-orang miskin. Panglima Islam ini pun
membebaskan 84 ribu orang dari situ. Malah, saudaranya, al-Malikul Adil,
membayar tebusan untuk 2 ribu orang laki-laki di antara mereka.
Padahal 90 tahun sebelumnya, ketika pasukan Salib Eropa merebut
Baitul Maqdis, mereka justru melakukan pembantaian. Diriwayatkan bahwa ketika
penduduk al-Quds berlindung ke Masjid Aqsa, di atasnya dikibarkan bendera
keamanan pemberian panglima Tancard. Ketika masjid itu sudah penuh dengan
orang-orang (orang tua, wanita dan anak-anak), mereka dibantai habis-habisan
seperti menjagal kambing. Darah-darah muncrat mengalir di tempat ibadah itu
setinggi lutut penunggang kuda. Kota menjadi bersih oleh penyembelihan
penghuninya secara tuntas. Jalan-jalan penuh dengan kepala-kepala yang hancur,
kaki-kaki yang putus dan tubuh-tubuh yang rusak. Para sejarawan muslim
menyebutkan jumlah mereka yang dibantai di Masjid Aqsa sebanyak 70 ribu orang.
Para sejarawan Perancis sendiri tidak mengingkari pembantaian mengerikan itu,
bahkan mereka kebanyakan menceritakannya dengan bangga.
Fakta ini cukup membuktikan betapa Islam mampu memberikan
perlindungan kepada penduduk yang wilayahnya ditaklukan. Karena perang dalam
Islam memang bukan untuk menghancurkan, tapi memberi kehidupan. Dengan begitu,
Islam tersebar ke hampir sepertiga wilayah di dunia ini.
Peradaban Islam memang mengalami jatuh-bangun, berbagai
peristiwa telah menghiasi perjalanannya. Meski demikian, orang tidak mudah
untuk begitu melupakan peradaban emas yang berhasil ditorehkannya untuk umat
manusia ini. Pencerahan pun terjadi di segala bidang dan di seluruh dunia.
Sejarawan Barat beraliran konservatif, W Montgomery Watt
menganalisa tentang rahasia kemajuan peradaban Islam, ia mengatakan bahwa Islam
tidak mengenal pemisahan yang kaku antara ilmu pengetahuan, etika, dan ajaran
agama. Satu dengan yang lain, dijalankan dalam satu tarikan nafas. Pengamalan
syariat Islam, sama pentingnya dan memiliki prioritas yang sama dengan
riset-riset ilmiah.
Orientalis Sedillot seperti yang dikutip Mustafa as-Siba’i dalam
Peradaban Islam, Dulu, Kini, dan Esok, mengatakan bahwa, “Hanya bangsa Arab
pemikul panji-panji peradaban abad pertengahan. Mereka melenyapkan barbarisme
Eropa yang digoncangkan oleh serangan-serangan dari Utara. Bangsa Arab
melanglang mendatangi ‘sumber-sumber filsafat Yunani yang abadi’. Mereka tidak
berhenti pada batas yang telah diperoleh berupa khazanah-khazanah ilmu
pengetahuan, tetapi berusaha mengembangkannya dan membuka pintu-pintu baru bagi
pengkajian alam.”
Andalusia, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan di masa kejayaan
Islam, telah melahirkan ribuan ilmuwan, dan menginsiprasi para ilmuwan Barat
untuk belajar dari kemajuan iptek yang dibangun kaum muslimin.
Jadi wajar jika Gustave Lebon mengatakan bahwa terjemahan
buku-buku bangsa Arab, terutama buku-buku keilmuan hampir menjadi satu-satunya
sumber-sumber bagi pengajaran di perguruan-perguruan tinggi Eropa selama lima
atau enam abad. Tidak hanya itu, Lebon juga mengatakan bahwa hanya buku-buku
bangsa Arab-Persia lah yang dijadikan sandaran oleh para ilmuwan Barat seperti
Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philipi, Raymond Lull, san Thomas,
Albertus Magnus dan Alfonso X dari Castella.
Buku al-Bashariyyat karya al-Hasan bin al-Haitsam diterjemahkan
oleh Ghiteleon dari Polska. Gherardo dari Cremona menyebarkan ilmu falak yang
hakiki dengan menerjemahkan asy-Syarh karya Jabir. Belum lagi ribuan buku yang
berhasil memberikan pencerahan kepada dunia. Itu sebabnya, jangan heran kalau
perpustakaan umum banyak dibangun di masa kejayaan Islam. Perpustakaan al-Ahkam
di Andalusia misalnya, merupakan perpustakaan yang sangat besar dan luas. Buku
yang ada di situ mencapai 400 ribu buah. Uniknya, perpustakaan ini sudah
memiliki katalog. Sehingga memudahkan pencarian buku. Perpustakaan umum Tripoli
di daerah Syam, memiliki sekitar tiga juta judul buku, termasuk 50.000
eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Dan masih banyak lagi perpustakaan lainnya.
Tapi naas, semuanya dihancurkan Pasukan Salib Eropa dan Pasukan Tartar ketika
mereka menyerang Islam.
Peradaban Islam memang peradaban emas yang mencerahkan dunia.
Itu sebabnya menurut Montgomery, tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi
‘dinamo’nya, Barat bukanlah apa-apa. Wajar jika Barat berhutang budi pada
Islam.
Empat belas abad yang silam, Allah Ta’ala telah mengutus Nabi
Muhammad saw sebagai panutan dan ikutan bagi umat manusia. Beliau adalah
merupakan Rasul terakhir yang membawa agama terakhir yakni Islam. Hal ini
secara jelas dan tegas dikemukakan oleh Al-Quran dimana Kitab Suci tersebut
memproklamasikan keuniversalan misi dari Muhammad saw sebagaimana kita jumpai
dalam ayat-ayat berikut ini:
“Katakanlah, “Wahai manusia , sesungguhnya aku ini Rasul kepada
kamu sekalian dari Allah yang mempunyai kerajaan seluruh langit dan bumi. Tak
ada yang patut disembah melainkan Dia.” (QS. 7:159).
“Dan kami tidaklah mengutus engkau melainkan sebagai pembawa
kabar suka dan pemberi peringatan untuk segenap manusia…” (QS. 34:29).
“Dan tidaklah Kami mengutus engkau melainkan sebagai rahmat bagi
seluruh umat…” (QS. 21:108).
Nabi Muhammad saw telah mengubah pandangan hidup dan memberi
semangat yang menyala-nyala kepada umat Islam, sehingga dari bangsa yang
terkebelakang dalam waktu yang amat singkat mereka, mereka telah menjadi guru
sejagat. Umat Islam menghidupkan ilmu, mengadakan penyelidikan-penyelidikan.
Fakta sejarah menjelaskan antara lain , bahwa Islam pada waktu pertama kalinya
memiliki kejayaan, bahwa ada masanya umat Islam memiliki tokoh-tokoh seperti
Ibnu Sina di bidang filsafat dan kedokteran, Ibnu Khaldun di bidang Filsafat
dan Sosiologi, Al-jabar dll. Islam telah datang ke Spanyol memperkenalkan
berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti ilmu ukur, aljabar, arsitektur,
kesehatan, filsafat dan masih banyak cabang ilmu yang lain lagi.
Masa Kejayaan Islam Pertama telah menjadi bukti sejarah bahwa
dengan mengamalkan ajaran al-Quran umat Islam sendiri akan menikmati kemajuan
peradaban dan kebudayaan diatas bumi ini. Di masa Kejayaan Islam Pertama,
pimpinan Islam berada di tangan tokoh-tokoh yang setiap orangnya patuh
sepenuhnya dan setia kepada Nabi Muhammad saw, baik secara keimanan, keyakinan,
perbuatan, akhlak, pendidikan, kesucian jiwa, keluhuran budi maupun
kesempurnaan.
Pimpinan Umat Islam sesudah wafatnya nabi Muhammad saw,
Abubakar, Umar, Utsman dan Ali adalah merupakan pemimpin-pemimpin duniawi
dengan jabatan Khalifah, yang menganggap kedudukan mereka itu sebagai
pengabdian pada umat Islam, bukan sebagai alat untuk mendapatkan kekuasaan
mutlak dan kemegahan. Dalam tiga abad pertama sejarah permulaaan Islam (650-1000M),
bagian-bagian dunia yang dikuasai Islam adalah bagian-bagian yang paling maju
dan memiliki peradaban yang tinggi. Negeri-negeri Islam penuh dengan kota-kota
indah, penuh dengan mesjid-mesjid yang megah, dimana-mana terdapat perguruan
tinggi dan Univesitas yang didalamnya tersimpan peradaban-peradaban dan
hikmah-hikmah yang bernilai tiggi. Kecemerlangan Islam Timur merupakan hal yang
kontras dengan dunia Nasrani Barat, yang tenggelam dalam masa kegelapan zaman.
a. Kejayaan Islam masa Dinasti Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah adalah suatu dinasti (Bani Abbas) yang
menguasai daulat (negara) Islamiah pada masa klasik dan pertengahan Islam.
Daulat Islamiah ketika berada di bawah kekuasaan dinasti ini disebut juga
dengan Daulat Abbasiyah. Daulat Abbasiyah adalah daulat (negara) yang
melanjutkan kekuasaan Daulat Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para
pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Abbas (Bani Abbas), paman
Nabi Muhammad saw. Pendiri dinasti ini adalah Abu Abbas as-Saffah, nama lengkapnya
yaitu Abdullah as-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial , dan budaya.
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan pola politik itu,
para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima
periode:
1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode
pengaruh Persia Pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M – 234 H/945 M), disebut masa
pengaruh Turki Pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M, masa kekuasaan
Dinasti Buwaih dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia Kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M/ – 590 H/1194 M), masa
kekuasaan Dinasti Saljuk dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah; biasanya
disebut juga dengan masa pengaruh Turki Kedua.
5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa Khalifah
bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Bagdad.
Dalam zaman Daulah Abbasiyah, masa meranumlah kesusasteraan dan
ilmu pengetahuan, disalin ke dalam bahasa Arab, ilmu-ilmu purbakala. Lahirlah
pada masa itu sekian banyak penyair, pujangga, ahli bahasa, ahli sejarah, ahli
hukum, ahli tafsir, ahli hadits, ahli filsafat, thib, ahli bangunan dan
sebagainya.
Zaman ini adalah zaman keemasan Islam, demikian Jarji Zaidan
memulai lukisannya tentang Bani Abbasiyah. Dalam zaman ini, kedaulatan kaum
muslimin telah sampai ke puncak kemuliaan, baik kekayaan, kemajuan, ataupun
kekuasaan. Dalam zaman ini telah lahir berbagai ilmu Islam, dan berbagai ilmu
penting telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Masa Daulah Abbasiyah adalah
masa di mana umat Islam mengembangkan ilmu pengetahuan, suatu kehausan akan
ilmu pengetahuan yang belum pernah ada dalam sejarah.
Kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan merefleksikan
terciptanya beberapa karya ilmiah seperti terlihat pada alam pemikiran Islam
pada abad ke-8 M. yaitu gerakan penerjemahan buku peninggalan kebudayaan Yunani
dan Persia.
Permulaan yang disebut serius dari penerjemahan tersebut adalah
sejak abad ke-8 M, pada masa pemerintahan Al-Makmun (813 –833 M) yang membangun
sebuah lembaga khusus untuk tujuan itu, “The House of Wisdom / Bay al-Hikmah”.
Dr. Mx Meyerhof yang dikutip oleh Oemar Amin Hoesin mengungkapkan tentang
kejayaan Islam ini sebagai berikut: “Kedokteran Islam dan ilmu pengetahuan
umumnya, menyinari matahari Hellenisme hingga pudar cahayanya. Kemudian ilmu
Islam menjadi bulan di malam gelap gulita Eropa, mengantarkan Eropa ke jalan
renaissance. Karena itulah Islam menjadi biang gerak besar, yang dipunyai Eropa
sekarang. Dengan demikian, pantas kita menyatakan, Islam harus tetap bersama
kita.” (Oemar Amin Hoesin)
Adapun kebijaksanaan para penguasa Daulah Abbasiyah periode 1
dalam menjalankan tugasnya lebih mengutamakan kepada pembangunan wilayah
seperti: Khalifah tetap keturunan Arab, sedangkan menteri, gubernur, dan
panglima perang diangkat dari keturunan bangsa Persia. Kota Bagdad sebagai
ibukota, dijadikan kota internasional untuk segala kegiatan ekonomi dan sosial
serta politik segala bangsa yang menganut berbagai keyakinan diizinkan bermukim
di dalamnya, ada bangsa Arab, Turki, Persia, Romawi, Hindi dan sebagainya.
Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu hal yang sangat mulia
dan berharga. Para khalifah dan para pembesar lainnya membuka kemungkinan
seluas-luasnya untuk kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan. Pada umumnya
khalifah adalah para ulama yang mencintai ilmu, menghormati sarjana dan
memuliakan pujangga.
Kebebasan berpikir sebagai hak asasi manusia diakui sepenuhnya.
Pada waktu itu akal dan pikiran dibebaskan benar-benar dari belenggu taklid,
hal mana menyebabkan orang sangat leluasa mengeluarkan pendapat dalam segala
bidang, termasuk bidang aqidah, falsafah, ibadah dan sebagainya.
Para menteri keturunan Persia diberi hak penuh untuk menjalankan
pemerintahan, sehingga mereka memegang peranan penting dalam membina
tamadun/peradaban Islam. Mereka sangat mencintai ilmu dan mengorbankan
kekayaannya untuk memajukan kecerdasan rakyat dan meningkatkan ilmu
pengetahuan, sehingga karena banyaknya keturunan Malawy yang memberikan tenaga
dan jasanya untuk kemajuan Islam.
b. Latar Belakang dan Faktor-faktor yang Memunculkan “Revolusi
Abbasiyah”
Menjelang akhir daulah Umawiyah (akhir abad pertama Hijriyah)
terjadilah bermacam-macam kekacauan dalam segala cabang kehidupan negara;
terjadi kekeliruan dan kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh para khalifah dan
para pembesar negara lainnya, terjadilah pelanggaran-pelanggaranterhadap
ajaran-ajaran Islam.
Di antara kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang
diperbuat, yaitu:
- Politik kepegawaian negara didasarkan pada klik, golongan,
suku, kaum dan kawan (nepotisme)
- Penindasan yang terus-menerus terhadap pengikut-pengikut Imam
Ali bin Abi Thalib RA pada khususnya dan terhadap Bani Hasyim (Hasyimiah) pada
umumnya.
- Menganggap rendah terhadap kaum muslimin yang bukan bangsa
Arab, sehingga mereka tidak diberi kesempatan dalam pemerintahan.
- Pelanggaran terhadap ajaran Islam dan hak-hak asasi manusia
dengan cara yang terang-terangan.
Prof. Dr. Hamka melukiskan keadaan tersebut “Ketika Umar bin
Abdul Aziz menjadi khalifah, waktu itulah mulai disusun dengan diam-diam propaganda
untuk menegakkan Bani Abbas. Keadaan dan cara Umar bin Abdul Aziz memerintah
telah menyebabkan suburnya propaganda untuk Daulat yang akan berdiri itu. Sebab
sejak zaman Muawiyah Daulat Bani Umayyah itu didirikan dengan kekerasan. Siasat
yang keras dan licik, yang pada zaman sekarang dalam ilmu politik disebut
“Machiavellisme”, artinya mempergunakan segala kesempatan, sekalipun kesempatan
yang jahat untuk memperbesar kekuasaan. Umpamanya memburuk-burukkan dan
menyumpah Ali bin Abi Thalib RA dalam tiap khutbah Jum’at; itu sudah terang
tidak dapat diterima umat dengan rela hati.” Selanjutnya Dr. Badri Yatim. MA.
mengungkapkan dalam bukunya
c. Kegemilangan Iptek di Masa Khilafah Abasiyyah
Kekhilafahan Abbasiyah tercatat dalam sejarah Islam dari tahun
750-1517 M/132-923 H. Diawali oleh khalifah Abu al-’Abbas as-Saffah (750-754)
dan diakhiri Khalifah al-Mutawakkil Alailah III (1508-1517). Dengan rentang
waku yang cukup panjang, sekitar 767 tahun, kekhilafahan ini mampu menunjukkan
pada dunia ketinggian peradaban Islam dengan pesatnya perkembangan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi di dunia Islam.
Di era ini, telah lahir ilmuwan-ilmuwan Islam dengan berbagai
penemuannya yang mengguncang dunia. Sebut saja, al-Khawarizmi (780-850) yang
menemukan angka nol dan namanya diabadikan dalam cabang ilmu matematika,
Algoritma (logaritma). Ada Ibnu Sina (980-1037) yang membuat termometer udara
untuk mengukur suhu udara. Bahkan namanya tekenal di Barat sebagai Avicena,
pakar Medis Islam legendaris dengan karya ilmiahnya Qanun (Canon) yang menjadi
referensi ilmu kedokteran para pelajar Barat. Tak ketinggalan al-Biruni
(973-1048) yang melakukan pengamatan terhadap tanaman sehingga diperoleh
kesimpulan kalau bunga memiliki 3, 4, 5, atau 18 daun bunga dan tidak pernah 7
atau 9.
Pada abad ke-8 dan 9 M, negeri Irak dihuni oleh 30 juta penduduk
yang 80% nya merupakan petani. Hebatnya, mereka sudah pakai sistem irigasi
modern dari sungai Eufrat dan Tigris. Hasilnya, di negeri-negeri Islam rasio
hasil panen gandum dibandingkan dengan benih yang disebar mencapai 10:1
sementara di Eropa pada waktu yang sama hanya dapat 2,5:1.
Kecanggihan teknologi masa ini juga terlihat dari
peninggalan-peninggalan sejarahnya. Seperti arsitektur mesjid Agung Cordoba;
Blue Mosque di Konstantinopel; atau menara spiral di Samara yang dibangun oleh
khalifah al-Mutawakkil, Istana al-Hamra (al-Hamra Qasr) yang dibangun di
Seville, Andalusia pada tahun 913 M. Sebuah Istana terindah yang dibangun di
atas bukit yang menghadap ke kota Granada.
Kekhilafahan Abbasiyah dengan kegemilangan ipteknya kini hanya
tercatat dalam buku usang sejarah Islam. Tapi jangan khawatir, someday Islam
akan kembali jaya dan tugas kita semua untuk mewujudkannya.
Dinasti Abbasiyiah membawa Islam ke puncak kejayaan. Saat itu,
dua pertiga bagian dunia dikuasai oleh kekhalifahan Islam. Tradisi keilmuan
berkembang pesat.
Masa kejayaan Islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahun dan
teknologi, kata Ketua Kajian Timur Tengah Universitas Indonesia, Dr Muhammad
Lutfi, terjadi pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid. Dia adalah khalifah
dinasti Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 786.
Saat itu, kata Lutfi, banyak lahir tokoh dunia yang kitabnya
menjadi referensi ilmu pengetahuan modern. Salah satunya adalah bapak
kedokteran Ibnu Sina atau yang dikenal saat ini di Barat dengan nama Avicenna.
Sebelum Islam datang, kata Luthfi, Eropa berada dalam Abad
Kegelapan. Tak satu pun bidang ilmu yang maju, bahkan lebih percaya tahyul.
Dalam bidang kedoteran, misalnya. Saat itu di Barat, jika ada orang gila,
mereka akan menangkapnya kemudian menyayat kepalanya dengan salib. Di atas luka
tersebut mereka akan menaburinya dengan garam. ”Jika orang tersebut berteriak
kesakitan, orang Barat percaya bahwa itu adalah momen pertempuran orang gila
itu dengan jin. Orang Barat percaya bahwa orang itu menjadi gila karena
kerasukan setan,” jelas Luthfi.
Pada saat itu tentara Islam juga berhasil membuat senjata
bernama ‘manzanik’, sejenis ketepel besar pelontar batu atau api. Ini
membuktikan bahwa Islam mampu mengadopsi teknologi dari luar. Pada abad ke-14,
tentara Salib akhirnya terusir dari Timur Tengah dan membangkitkan kebanggaan
bagi masyarakat Arab.
Lain lagi pada masa pemerintahan dinasti Usmaniyah — di Barat
disebut Ottoman — yang kekuatan militernya berhasil memperluas kekuasaan hingga
ke Eropa, yaitu Wina hingga ke selatan Spanyol dan Perancis. Kekuatan militer
laut Usmaniyah sangat ditakuti Barat saat itu, apalagi mereka menguasai Laut
Tengah.
Kejatuhan Islam ke tangan Barat dimulai pada awal abad ke-18.
Umat Islam mulai merasa tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
setelah masuknya Napoleon Bonaparte ke Mesir. Saat itu Napoleon masuk dengan
membawa mesin-mesin dan peralatan cetak, ditambah tenaga ahli.
Dinasti Abbasiyah jatuh setelah kota Baghdad yang menjadi pusat
pemerintahannya diserang oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan. Di
sisi lain, tradisi keilmuan itu kurang berkembang pada kekhalifahan Usmaniyah.
Salah langkah diambil saat mereka mendukung Jerman dalam perang
dunia pertama. Ketika Jerman kalah, secara otomatis Turki menjadi negara yang
kalah perang sehingga akhirnya wilayah mereka dirampas Inggris dan Perancis.
Tanggal 3 Maret 1924, khilafah Islamiyah resmi dihapus dari
konstitusi Turki. Sejak saat itu tidak ada lagi negara yang secara konsisten
menganut khilafah Islamiyah. Terjadi gerakan sekularisasi yang dipelopori oleh
Kemal At-Taturk, seorang Zionis Turki.
Kini 82 tahun berlalu, umat Muslim tercerai berai. Akankah Islam
kembali mengalami zaman keemasan seperti yang terjadi di 700 tahun awal
pemerintahannya?
Ketua MUI, KH Akhmad Kholil Ridwan menyatakan optimismenya bahwa
Islam akan kembali berjaya di muka bumi. Ridwan menyebut saat ini merupakan
momen kebangkitan Islam kembali. ”Seperti janji Allah, 700 tahun pertama Islam
berjaya, 700 tahun berikutnya Islam jatuh dan sekarang tengah mengalami periode
700 tahun ketiga menuju kembalinya kebangkitan Islam,” ujarnya.
Meskipun saat ini umat Islam banyak ditekan, ujar Ridwan, semua
upaya ini justru semakin memperkuat eksistensi Islam. Ini sesuai janji Allah
yang menyatakan bahwa meskipun begitu hebatnya musuh menindas Islam namun hal
ini bukannya akan melemahkan umat Islam. ”Ibaratnya paku, semakin ditekan,
Islam akan semakin menancap dengan kuat,”ujarnya.
Sementara itu, Luthfi menyatakan sistem khilafah Islamiyah masih
relevan diterapkan pada zaman sekarang ini asal dimodifikasi. Ia mencontohkan
konsep pemerintahan yang dianut Iran yang menjadi modifikasi antara teokrasi
(kekuasaan yang berpusat pada Tuhan) dan demokrasi (yang berpusat pada masyarakat).
Di Iran, kekuasaan tertinggi tidak dipegang parlemen atau
presiden, melainkan oleh Ayatullah atau Imam, yang juga memiliki Dewan Ahli dan
Dewan Pengawas. Sistem pemerintahan Iran ini, menurut Luthfi, merupakan
tandingan sistem pemerintahan Barat. ”Tak heran kalau Amerika Serikat sangat
takut dengan Iran karena mereka bisa menjadi tonggak peradaban baru Islam.”
Konsep khilafah Islamiyah, kata Luthfi, mengharuskan hanya ada
satu pemerintahan Islami di dunia dan tidak terpecah-belah berdasarkan negara
atau etnis. ”Untuk mewujudkannya lagi saat ini, sangat sulit,” kata dia.
Sementara Kholil Ridwan menjelaskan ada tiga upaya konkret yang
bisa dilakukan umat untuk mengembalikan kejayaan Islam di masa lampau. Yang
pertama adalah merapatkan barisan. Allah berfirman dalam QS Ali Imran ayat 103
yang isinya “Dan berpeganglah kalian semuanya dengan tali (agama) Allah, dan janganlah
kalian bercerai berai.”
Upaya lainnya adalah kembali kepada tradisi keilmuan dalam agama
Islam. Dalam Islam, jelasnya, ada dua jenis ilmu, yaitu ilmu fardhu ‘ain dan
fardhu kifayah. Yang masuk golongan ilmu fardhu ‘ain adalah Al-Quran, hadis,
fikih, tauhid, akhlaq, syariah, dan cabang-cabangnya. Sedangkan yang masuk ilmu
fardhu kifayah adalah kedokteran, matematika, psikologi, dan cabang sains
lainnya.
Sementara upaya ketiga adalah dengan mewujudkan sistem yang
berdasarkan syariah Islam. d. Runtuhnya sebuah kejayaan
Jatuh itu memang menyakitkan. Apalagi ketika kita udah berada
jauh di puncak kesuksesan. Setelah berhasil membangun kejayaan selama 14 abad
lebih, akhirnya peradaban Islam jatuh tersungkur. Inilah kisah tragis yang
dialami peradaban Islam. Bukan tanpa sebab tentunya. Serangan pemikiran dan
militer dari Barat bertubi-tubi menguncang Islam. Akibatnya, kaum muslimin
mulai goyah. Puncaknya, adalah tergusurnya Khilafah Islamiyah di Turki dari
pentas perpolitikan dunia.
Saat itu, Inggris menetapkan syarat bagi Turki, bahwa Inggris
tak akan menarik dirinya dari bumi Turki, kecuali setelah Turki menjalankan
syarat-syarat berikut: Pertama, Turki harus menghancurkan Khilafah Islamiyah,
mengusir Khalifah dari Turki, dan menyita harta bendanya. Kedua, Turki harus
berjanji untuk menumpas setiap gerakan yang akan mendukung Khilafah. Ketiga,
Turki harus memutuskan hubungannya dengan Islam. Keempat, Turki harus memilih
konstitusi sekuler, sebagai pengganti dari konstitusi yang bersumber dari
hukum-hukum Islam. Mustafa Kamal Ataturk kemudian menjalankan syarat-syarat
tersebut, dan negara-negara penjajah pun akhirnya menarik diri dari wilayah
Turki (Jalal al-Alam dalam kitabnya Dammirul Islam Wa Abiiduu Ahlahu, hlm. 48)
Cerzon (Menlu Inggris saat itu) menyampaikan pidato di depan
parlemen Inggris, “Sesungguhnya kita telah menghancurkan Turki, sehingga Turki
tidak akan dapat bangun lagi setelah itu… Sebab kita telah menghancurkan
kekuatannya yang terwujud dalam dua hal, yaitu Islam dan Khilafah.”
Jadi terakhir kaum muslimin hidup dalam naungan Islam adalah di
tahun 1924, tepatnya tanggal 3 Maret tatkala Khilafah Utsmaniyah yang berpusat
di Turki alias Konstantinopel diruntuhkan oleh kaki tangan Inggris keturunan
Yahudi, Musthafa Kemal Attaturk. Nah, dialah yang mengeluarkan perintah untuk
mengusir Khalifah Abdul Majid bin Abdul Aziz, Khalifah (pemimpin) terakhir kaum
muslimin ke Swiss, dengan cuma berbekal koper pakaian dan secuil uang.
Sebelumnya Kemal mengumumkan bahwa Majelis Nasional Turki telah menyetujui penghapusan
Khilafah. Sejak saat itulah sampai sekarang kita nggak punya lagi pemerintahan
Islam.
Akibatnya, umat Islam terkotak-kotak di berbagai negeri
berdasarkan letak geografis yang beraneka ragam, yang sebagian besarnya berada
di bawah kekuasaan musuh yang kafir: Inggris, Perancis, Italia, Belanda, dan
Rusia. Di setiap negeri tersebut, kaum kafir telah mengangkat penguasa yang
bersedia tunduk kepada mereka dari kalangan penduduk pribumi. Para penguasa ini
adalah orang-orang yang mentaati perintah kaum kafir tersebut, dan mampu
menjaga stabilitas negerinya.
Kaum kafir segera mengganti undang-undang dan peraturan Islam
yang diterapkan di tengah-tengah rakyat dengan undang-undang dan peraturan
kafir milik mereka. Kaum kafir segera mengubah kurikulum pendidikan untuk
mencetak generasi-generasi baru yang mempercayai persepsi kehidupan menurut
Barat, serta memusuhi akidah dan syariat Islam. Khilafah Islamiyah dihancurkan
secara total, dan aktivitas untuk mengembalikan serta mendakwahkannya dianggap
sebagai tindakan kriminal yang dapat dijatuhi sanksi oleh undang-undang.
Harta kekayaan dan potensi alam milik kaum muslimin telah
dirampok oleh penjajah kafir, yang telah mengeksploitasi kekayaan tersebut
dengan cara yang seburuk-buruknya, dan telah menghinakan kaum muslimin dengan
sehina-hinanya (Syaikh Abdurrahman Abdul Khalik, dalam kitabnya al-Muslimun Wal
Amal as-Siyasi, hlm. 13)
Beginilah kita sekarang sobat. Tapi jangan bersedih, sebab kita
akan kembali mengagungkan kejayaan Islam itu. Yakinlah, kita masih bisa merebutnya,
meski dengan nyawa sebagai tebusannya. Kita lahir ke dunia ini dengan berlumur
darah, maka kenapa musti takut mati dengan berlumur darah. Syahid di medan
tempur. e. Pandangan Islam terhadap IPTEK
Ahmad Y Samantho dalam makalahnya di ICAS Jakarta (2004)
mengatakan bahwa kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi dunia, yang kini
dipimpin oleh peradaban Barat satu abad terakhir ini, mencegangkan banyak orang
di pelbagai penjuru dunia. Kesejahteraan dan kemakmuran material (fisikal) yang
dihasilkan oleh perkembangan Iptek modern tersebut membuat banyak orang lalu
mengagumi dan meniru-niru gaya hidup peradaban Barat tanpa dibarengi sikap
kritis terhadap segala dampak negatif dan krisis multidimensional yang
diakibatkannya.
Peradaban Barat moderen dan postmodern saat ini memang
memperlihatkan kemajuan dan kebaikan kesejahteraan material yang seolah
menjanjikan kebahagian hidup bagi umat manusia. Namun karena kemajuan tersebut
tidak seimbang, pincang, lebih mementingkan kesejahteraan material bagi sebagian
individu dan sekelompok tertentu negara-negara maju (kelompok G-8) saja dengan
mengabaikan, bahkan menindas hak-hak dan merampas kekayaan alam negara lain dan
orang lain yang lebih lemah kekuatan iptek, ekonomi dan militernya, maka
kemajuan di Barat melahirkan penderitaan kolonialisme-imperialisme (penjajahan)
di Dunia Timur & Selatan.
Kemajuan Iptek di Barat, yang didominasi oleh pandangan dunia
dan paradigma sains (Iptek) yang positivistik-empirik sebagai anak kandung
filsafat-ideologi materialisme-sekuler, pada akhirnya juga telah melahirkan
penderitaan dan ketidakbahagiaan psikologis/ruhaniah pada banyak manusia baik
di Barat maupun di Timur.
Krisis multidimensional terjadi akibat perkembangan Iptek yang
lepas dari kendali nilai-nilai moral Ketuhanan dan agama. Krisis ekologis,
misalnya: berbagai bencana alam: tsunami, gempa dan kacaunya iklim dan cuaca
dunia akibat pemanasan global yang disebabkan tingginya polusi industri di
negara-negara maju; Kehancuran ekosistem laut dan keracunan pada penduduk pantai
akibat polusi yang diihasilkan oleh pertambangan mineral emas, perak dan
tembaga, seperti yang terjadi di Buyat, Sulawesi Utara dan di Freeport Papua,
Minamata Jepang. Kebocoran reaktor Nuklir di Chernobil, Rusia, dan di India,
dll. Krisis Ekonomi dan politik yang terjadi di banyak negara berkembang dan
negara miskin, terjadi akibat ketidakadilan dan ’penjajahan’ (neo-imperialisme)
oleh negara-negara maju yang menguasai perekonomian dunia dan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern.
Negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, saat ini pada
umumnya adalah negara-negara berkembang atau negara terkebelakang, yang lemah
secara ekonomi dan juga lemah atau tidak menguasai perkembangan ilmu
pengetahuan dan sains-teknologi. Karena nyatanya saudara-saudara Muslim kita
itu banyak yang masih bodoh dan lemah, maka mereka kehilangan harga diri dan
kepercayaan dirinya. Beberapa di antara mereka kemudian menjadi hamba budaya
dan pengikut buta kepentingan negara-negara Barat. Mereka menyerap begitu saja
nilai-nilai, ideologi dan budaya materialis (’matre’) dan sekular (anti Tuhan)
yang dicekokkan melalui kemajuan teknologi informasi dan media komunikasi
Barat. Akibatnya krisis-krisis sosial-moral dan kejiwaan pun menular kepada
sebagian besar bangsa-bangsa Muslim.
Kenyataan memprihatikan ini sangat ironis. Umat Islam yang
mewarisi ajaran suci Ilahiah dan peradaban dan Iptek Islam yang jaya di masa
lalu, justru kini terpuruk di negerinya sendiri, yang sebenarnya kaya sumber
daya alamnya, namun miskin kualitas sumberdaya manusianya (pendidikan dan
Ipteknya). Ketidakadilan global ini terlihat dari fakta bahwa 80% kekayaan
dunia hanya dikuasai oleh 20 % penduduk kaya di negara-negara maju. Sementara
80% penduduk dunia di negara-negara miskin hanya memperebutkan remah-remah sisa
makanan pesta pora bangsa-bangsa negara maju.
Ironis bahwa Indonesia yang sangat kaya dengan sumber daya alam
minyak dan gas bumi, justru mengalami krisis dan kelangkaan BBM. Ironis bahwa
di tengah keberlimpahan hasil produksi gunung emas-perak dan tembaga serta kayu
hasil hutan yang ada di Indonesia, kita justru mengalami kesulitan dan krisis
ekonomi, kelaparan, busung lapar, dan berbagai penyakit akibat kemiskinan
rakyat. Kemana harta kekayaan kita yang Allah berikan kepada tanah air dan
bangsa Indonesia ini? Mengapa kita menjadi negara penghutang terbesar dan
terkorup di dunia?
Kenyataan menyedihkan tersebut sudah selayaknya menjadi cambuk
bagi kita bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim untuk gigih memperjuangkan
kemandirian politik, ekonomi dan moral bangsa dan umat. Kemandirian itu tidak
bisa lain kecuali dengan pembinaan mental-karakter dan moral (akhlak)
bangsa-bangsa Islam sekaligus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang
dilandasi keimanan-taqwa kepada Allah swt. Serta melawan pengaruh buruk budaya
sampah dari Barat yang Sekular, Matre dan hedonis (mempertuhankan kenikmatan
hawa nafsu).
Akhlak yang baik muncul dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah
swt Sumber segala Kebaikan, Keindahan dan Kemuliaan. Keimanan dan ketaqwaan
kepada Allah swt hanya akan muncul bila diawali dengan pemahaman ilmu
pengetahuan dan pengenalan terhadap Tuhan Allah swt dan terhadap alam semesta
sebagai tajaliyat (manifestasi) sifat-sifat KeMahaMuliaan, Kekuasaan dan
Keagungan-Nya.
Islam, sebagai agama penyempurna dan paripurna bagi kemanusiaan,
sangat mendorong dan mementingkan umatnya untuk mempelajari, mengamati,
memahami dan merenungkan segala kejadian di alam semesta. Dengan kata lain
Islam sangat mementingkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Berbeda dengan pandangan dunia Barat yang melandasi pengembangan
Ipteknya hanya untuk kepentingan duniawi yang ’matre’ dan sekular, maka Islam
mementingkan pengembangan dan penguasaan Iptek untuk menjadi sarana
ibadah-pengabdian Muslim kepada Allah swt dan mengembang amanat Khalifatullah
(wakil/mandataris Allah) di muka bumi untuk berkhidmat kepada kemanusiaan dan
menyebarkan rahmat bagi seluruh alam (Rahmatan lil ’Alamin). Ada lebih dari 800
ayat dalam Al-Quran yang mementingkan proses perenungan, pemikiran dan pengamatan
terhadap berbagai gejala alam, untuk ditafakuri dan menjadi bahan dzikir
(ingat) kepada Allah. Yang paling terkenal adalah ayat:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang-orang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri
atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang
penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
ciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa
neraka.” (QS Ali Imron [3] : 190-191)
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan
berilmu pengetahuan beberapa derajat.” (QS. Mujadillah [58]: 11 )
Bagi umat Islam, kedua-duanya adalah merupakan ayat-ayat (atau
tanda-tanda) ke-Mahakuasa-an dan Keagungan Allah swt. Ayat tanziliyah/naqliyah
(yang diturunkan atau transmited knowledge), seperti kitab-kitab suci dan
ajaran para Rasul Allah (Taurat, Zabur, Injil dan Al Quran), maupun ayat-ayat
kauniyah (fenomena, prinsip-prinsip dan hukum alam), keduanya bila dibaca,
dipelajari, diamati dan direnungkan, melalui mata, telinga dan hati (qalbu +
akal) akan semakin mempertebal pengetahuan, pengenalan, keyakinan dan keimanan
kita kepada Allah swt, Tuhan Yang Maha Kuasa, Wujud yang wajib, Sumber segala
sesuatu dan segala eksistensi). Jadi agama dan ilmu pengetahuan, dalam Islam
tidak terlepas satu sama lain. Agama dan ilmu pengetahuan adalah dua sisi koin
dari satu mata uang koin yang sama. Keduanya saling membutuhkan, saling
menjelaskan dan saling memperkuat secara sinergis, holistik dan
integratif.[al-shia.org]
0 komentar: