MENGELOLA KONFLIK
DALAM ORGANISASI
Para manajer menghabiskan banyak waktu dan energi untuk
menangani konflik. Upaya penanganan konflik sangat penting dilakukan, karena
setiap jenis perubahan dalam suatu organisasi cenderung mendatangkan konflik.
Sebagaimana saat ini, dalam rangka otonomi daerah, banyak sekali perubahan
institusional yang terjadi, yang tidak saja berdampak pada perubahan struktur
dan personalia, tetapi juga berdampak pada terciptanya hubungan pribadi dan
organisasional yang berpotensi menimbulkan konflik. Di samping itu, jika
konflik tidak ditangani secara baik dan tuntas, maka akan mengganggu
keseimbangan sumberdaya, dan menegangkan
hubungan antara orang-orang yang terlibat. Menurut Gibson, et al.
(1997), kegagalan dalam menangani konflik dapat mengarah pada akibat yang mencelakakan.
Konflik dapat menghancurkan organisasi melalui penciptaan dinding pemisah di
antara rekan sekerja, menghasilkan kinerja yang buruk, dan bahkan pengunduran
diri.
Para manajer organisasi publik harus menyadari bahwa
karena konflik disebabkan oleh faktor-faktor yang berlainan, maka model yang
digunakan dalam pengelolaan konflik juga berlainan, tergantung keadaan. Memilih
sebuah model pemecahan konflik yang cocok tergantung pada beberapa faktor,
termasuk alasan mengapa konflik terjadi, dan hubungan khusus antara pimpinan
dengan pihak yang terlibat konflik. Menurut Greenhalgh (1999), efektivitas
pimpinan organisasi dalam menangani konflik tergantung pada seberapa baik
mereka memahami dinamika dasar dari konflik, dan apakah mereka dapat mengenali
hal-hal penting yang terdapat dalam konflik tersebut.
3.1 Model
Diagnosis Konflik Pandangan Kontinum dari Leonard Greenhalgh
Menurut Greenhalgh (1999:391), konflik bukanlah suatu
fenomena yang obyektif dan nyata, tetapi ia ada dalam benak orang-orang yang
terlibat dalam konflik tersebut. Karena itu untuk menangani konflik, seseorang
perlu bersikap empati, yaitu memahami keadaan sebagaimana yang dilihat oleh
para pelaku penting yang terlibat konflik. Unsur yang penting dalam manajemen
konflik adalah persuasi, dan inilah bentuk penyelesaian konflik yang selalu
ditekankan oleh Greenhalgh dalam model kontinumnya.
Masalah-masalah yang dipertanyakan. Jika masalah yang menjadi sumber konflik adalah masalah
prinsip, maka konflik sulit dipecahkan, karena mengrobankan prinsip dipandang
sebagai mengorbankan integritas pribadi. Begitu masalah-masalah prinsip
dikaitkan, pihak-pihak yang terlibat mencoba berargumentasi bahwa sudut pandang
pihak lain salah. Jika hal
sepeti ini terjadi, maka bentuk intervensi yang dapat dilakukan adalah meminta
semua pihak untuk mengakui bahwa mereka memahami pandangan satu sama lain,
walaupun masih percaya dengan pandangannya sendiri. Cara seperti ini lebih
memungkinkan semua pihak untuk meju dalam proses negosiasi, daripada tetap pada
posisi masing-masing.
Ukuran taruhan. Semakin besar nilai yang dipertaruhkan dalam perdebatan, semakin sulit
konflik dipecahkan. Misalnya, kebijakan akuisisi yang oleh manajer dianggap
membahayakan kedudukannya. Manajer yang berpikir subyektif akan memandang
taruhannya cukup tinggi, karena itu akan berusaha mati-matian menentang proses
akuisisi tersebut. Dalam kasus ini pendekatan persuasif dengan cara menunda
penyelesaian, hingga semua pihak menjadi kurang emosianal, sangat baik untuk
dilakukan. Selama masa penundaan tersebut masing-masing pihak dapat
mengevaluasi kembali masalah yang dipertaruhkan dan berusaha untuk mencoba
bersikap obyektif dalam penilaian mereka.
Saling ketergantungan pihak-pihak yang terlibat. Pihak-pihak yang terlibat dalam suatu konflik dapat
memandang diri mereka sendiri dalam suatu rangkaian saling ketergantungan
“berjumlah nol” hingga “berjumlah positif”. Saling ketergantungan berjumlah nol
adalah persepsi bahwa jika suatu pihak memperoleh sesuatu dari proses
interaksi, maka hal tersebut berarti pengorbanan bagi pihak lain. Saling
ketergantungan bernilai positif, jika kedua belah pihak sama-sama merasakan
memperoleh keuntungan dari proses interaksi. Suatu hubungan berjumlah nol
membuat konflik sulit dipecahkan karena hubungan ini memusatkan perhatian
secara sempit pada perolehan pribadi, dan bukan pada perolehan kedua belah
pihak melalui kerjasama dan pemecahan masalah. Jika hal yang demikian ini
terjadi, maka kedua belah pihak harus dibujuk untuk mempertimbangkan bagaimana
mereka dapat saling memperoleh manfaat dari suatu situasi.
Kontinuitas interaksi. Dimensi kontinuitas interaksi berhubungan dengan
horizon waktu dimana semua pihak melihat diri mereka sendiri berhubungan satu
sama lain. Jika mereka memvisualisasikan interaksi yang terjadi sebagai
interaksi jangka panjang atau suatu hubungan yang terus menerus, maka konflik
yang terjadi akan lebih mudah diselesaikan. Sebaliknya jika transaksi dipandang
sebagai hubungan jangka pendek atau hubungan episodic, maka konflik tersebut
akan sulit dipecahkan. Karena itu, pihak-pihak yang terlibat harus dibujuk agar
mau menyadari bahwa hubungan mereka tidak berhenti di sini saja, atau pada saat
konflik terjadi, tetapi akan ada hubungan lain yang terus menerus di masa yang
akan datang.
Struktur pihak-pihak yang terlibat. Konflik lebih mudah dipecahkan jika suatu pihak
mempunyai seorang pemimpin yang kuat yang dapat menyatukan pengikutnya untuk
menerima dan melaksanakan kesepakatan. Jika kepemimpinannya lemah, maka sub-sub
kelompok serikat pekerja yang paling merasa berkewajiban untuk mematuhi semua
kesepakatan akan melakukan protes tanpa memperhatikan apa yang telah disepakati
oleh pemimpin mereka, dan karena itu konflik sulit dipecahkan. Serikat pekerja
yang dipimpin oleh pemimpin yang kuat mungkin menyulitkan dalam perundingan,
tetapi begitu kesepakatan dicapai maka hasil perundingan tersebut dihormati
oleh anggota serikat pekerja. Jika serikat pekerja yang dipimpin oleh pemimpin
yang lemah terlibat dalam konflik, maka hasil yang telah disepakati mungkin
akan dirusak oleh orang-orang dari dalam serikat pekerja tersebut, yang mungkin
tidak menyukai sebagian isi kesepakatan. Hasilnya mungkin dapat berupa
pertentangan yang kronis terhadap perubahan atau bahkan melakukan pemogokan.
Keterlibatan pihak ketiga. Orang-orang cenderung akan terlibat secara emosional
dalam konflik. Keterlibatan yang demikian dapat menimbulkan beberapa pengaruh,
antara lain: persepsi bias menjadi rusak, proses pemikiran dan argumentasi yang
tidak rasional muncul, menghasilkan pendirian yang tidak beralasan, kemunikasi
rusak, dan serangan-serangan terhadap pribadi muncul. Pengaruh-pengaruh seperti
ini menyebabkan konflik menjadi sulit dipecahkan. Menghadapi situasi seperti
ini peranan pihak ketiga yang netral sangat diperlukan. Pihak ketiga yang
netral akan lebih bisa diterima oleh pihak-pihak yang terlibat, karena mereka
lebih menyukai evaluasi pihak lain daripada dievaluasi pihak lawan. Semakin berwibawa, berkuasa, dipercaya, dan netral pihak
ketiga, semakin besar kemungkinan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk
menahan emosi.
Peranan yang dimainkan oleh pihak ketiga dapat berwujud
bermacam-macam bentuk, mulai dari wasit yang mengawasi komunikasi, sampai
sebagai penghubung semua pihak, jika komunikasi langsung sulit dilakukan.
Peranan penengah pada dasarnya adalahi menjaga agar semua pihak berinteraksi
dalam cara yang beralasan dan konstruktif. Meskipun demikian, biasanya sebagian
besar manajer enggan untuk mengundang pihak luar sebagai penengah, karena
sangat sulit bagi mereka untuk mengakui secara terbuka bahwa mereka terlibat
dalam konflik yangs edang terjadi. Jika para manajer tetap terlibat dalam
penyelesaian konflik, maka kedudukan mereka lebih sebagai seorang arbiter, yang
memutuskan sesuatu setelah mendengar laporan dari pihak - pihak yang terlibat. Namun dalam kebanyakan
konflik, peranan penengah lebih disukai, karena semua pihak dibantu untuk
mencapai kesepakatan. Sedangkan arbitrasi lebih menyerupai proses pengadilan
dimana semua pihak membuat alasan sebaik mungkin untuk mendukung posisi mereka.
Hal ini cenderung untuk memperkuat perbedaan, dan bukannya menyatukan perbedaan
yang ada.
Kemajuan konflik. Sulit mengatasi konflik jika semua pihak yang terlibat
tidak siap untuk suatu rekonsiliasi. Jika masing-masing pihak merasa bahwa diri
mereka paling dirugikan, maka konflik sulit dipecahkan. Karena itu, hal penting
yang harus dilakukan adalah membujuk pihak - pihak yang terlibat agar menyadari
bahwa mereka sama-sama menderita akibat konflik. Pihak-pihak yang terlibat
harus dibawa pada “posisi yang sama”, sehingga mau secara sukarela
berpartisipasi dalam penyelesaian konflik yang terjadi.
3.2 Lima Gaya Penanganan Konflik (Five Conflict-Handling Styles) dari
Kreitner dan Kinicki
Model ini ditujukan untuk menangani konflik disfungsional
dalam organisasi. Dalam model ini digambarkan lima gaya penanganan konflik yang
berbeda yang disajikan dalam bentuk tabel 2x2. Pada sumbu vertikal
menggambarkan sisi pemecahan masalah yang berorientasi pada orang lain (concern
for others), dan pada sumbu horizontal menggambarkan sisi pemecahan masalah
yang berorientasi pada diri sendiri (concern for self). Kombinasi dari
kedua variabel ini menghasilkan lima gaya penanganan masalah yang berbeda,
yaitu: integrating, obliging, dominating, avoiding,
dan compromising.
Integrating
(Problem Solving). Dalam gaya ini pihak-pihak yang berkepentingan secara
bersama-sama mengidentifikasikan masalah yang dihadapi, kemudian mencari,
mempertimbangkan dan memilih solusi alternatif pemecahan masalah. Gaya ini
cocok untuk memecahkan isu-isu kompleks yang disebabkan oleh salah paham (misunderstanding),
tetapi tidak sesuai untuk memecahkan masalah yang terjadi karena sistem nilai
yang berbeda. Kelemahan
utamanya adalah memerlukan waktu yang lama dalam penyelesaian masalah.
Obliging
(Smoothing).
Sesuai dengan posisinya dalam gambar di atas, seseorang yang bergaya obliging
lebih memusatkan perhatian pada upaya untuk memuaskan pihak lain daripada
diri sendiri. Gaya ini sering pula disebut smothing (melicinkan), karena
berupaya mengurangi perbedaan-perbedaan dan menekankan pada persamaan atau
kebersamaan di antara pihak-pihak yang terlibat. Kekuatan strategi ini terletak
pada upaya untuk mendorong terjadinya kerjasama. Kelemahannya, penyelesaian
bersifat sementara dan tidak menyentuh masalah pokok yang ingin dipecahkan.
Dominating (Forcing). Orientasi pada diri sendiri yang tinggi, dan rendahnya
kepedulian terhadap kepentingan orang lain, mendorong seseorang untuk
menggunakan taktik “saya menang, kamu kalah”. Gaya ini sering disebut memaksa (forcing) karena
menggunakan legalitas formal dalam menyelesaikan masalah. Gaya ini cocok
digunakan jika cara-cara yang tidak populer hendak diterapkan dalam
penyelesaian masalah, masalah yang dipecahkan tidak terlalu penting, dan waktu
untuk mengambil keputusan sudah mepet. Tetapi tidak cocok untuk menangani
masalah yang menghendaki partisipasi dari mereka yang terlibat. Kekuatan utama
gaya ini terletak pada minimalnya waktu yang diperlukan. Kelemahannya, sering
menimbulkan kejengkelan atau rasa berat hati untuk menerima keputusan oleh
mereka yang terlibat.
Avoiding.
Taktik menghindar (avoiding) cocok digunakan untuk menyelesaikan masalah
yang sepele atau remeh, atau jika biaya yang harus dikeluarkan untuk
konfrontasi jauh lebih besar daripada keuntungan yang akan diperoleh. Gaya ini
tidak cocok untuk menyelesaikan masalah - malasah yang sulit atau “buruk”.
Kekuatan dari strategi penghindaran adalah jika kita menghadapi situasi yang
membingungkan atau mendua (ambiguous situations). Sedangkan
kelemahannya, penyelesaian masalah hanya bersifat sementara dan tidak
menyelesaikan pokok masalah.
Compromising. Gaya ini menempatkan seseorang pada posisi moderat, yang secara seimbang
memadukan antara kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain. Ini merupakan
pendekatan saling memberi dan menerima (give-and-take approach) dari
pihak-pihak yang terlibat.Kompromi cocok digunakan untuk menangani masalah yang
melibatkan pihak-pihak yang memiliki tujuan berbeda tetapi memiliki kekuatan
yang sama. Misalnya, dalam negosiasi kontrak antara buruh dan majikan. Kekuatan
utama dari kompromi adalah pada prosesnya yang demokratis dan tidak ada pihak
yang merasa dikalahkan. Tetapi penyelesaian konflik kadang bersifat sementara
dan mencegah munculnya kreativitas dalam penyelesaian masalah.
Model-model di atas sudah barang tentu hanya merupakan
sebagain saja dari banyak model yang dapat dipilih dalam manajemen konflik.
Model apapun yang dipilih akan tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
(1) latar belakang terjadinya konflik; (2) kategori pihak-pihak yang terlibat
dalam konflik: apakah antar-individu, individu dengan kelompok, atau
antar-kelompok dalam organisasi; (3) kompleksitas masalah yang akan dipecahkan;
dan (4) kompleksitas organisasi.
Model - model Manajemen konflik akan bermuara pada bagaimana mengusahakan agar konflik berada
pada situasi optimal, sehingga konflik tersebut dapat mencegah kemacetan,
merangsang kreativitas, memungkinkan lepasnya ketegangan, dan memprakarsai
benih-benih untuk perubahan.
Robbins menjelaskan bahwa konflik itu baik bagi
organisasi jika: (1) konflik merupakan suatu alat untuk menimbulkan perubahan;
(2) konflik mempermudah terjadinya keterpaduan (cohesiveness) kelompok;
(3) konflik dapat memperbaiki keefektifan kelompok dan organisasi; dan (4)
konflik menimbulkan tingkat ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan lebih
konstruktif. Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu
berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi keefektifan organisasi untuk
mencapai kualitas pelayanan publik yang tinggi.
Kedua situasi ektrim ini dapat memunculkan sikap-sikap
aparat yang apatis, absenteisme tinggi, bekerja seadanya, tidak empatik
terhadap pengguna jasa, dan sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah
kualitas pelayanan mereka kepada publik. Untuk itulah diperlukan suatu keahlian untuk mengelola konflik dari setiap
pimpinan organisasi publik. Penggunaan berbagai teknik pemecahan dan motivasi
untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan disebut sebagai manajemen
konflik.
4.1. Model
Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Organisasi
1). Negosiasi
Negosiasi
merupakan metode dalam proses penyelesaian sengketa yang bersifat non yudisial.
Negosiasi merupakan hubungan tawar menawar di antara para pihak yang
bersengketa dalam satu jalinan hubungan yang bersifat suka rela dan sementara
untuk saling menjelaskan posisi,kebutuhan dan kepentingan masing-masing serta
melakukan pertukaran sumber-sumber daya khusus atau perjanjian yang dapat
menyelesaikan sebagian sengketa atau keseluruhan sengketa.
Negosiasi merupakan teknik
penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana. Teknik
negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga, hanya berpusat pada diskusi yang
dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh
kedua belah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas
inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Karena itu, dalam salah
satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara
penyelesaian akan mengalami jalan buntu.
2). Mediasi dan jasa-jasa baik
(Mediation and good offices)
Mediasi merupakan bentuk lain dari
negosiasi, sedangkan yang membedakannya adalah keterlibatan pihak ketiga. Pihak
ketiga hanya bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator), komunikasi bagi pihak
ketiga disebut good offices. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang
memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat guna melancarkan
terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya dapat
terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat
yang diberikan oleh pihak yang bersengketa.
Perbedaan antara jasa-jasa baik dan
mediasi adalah persoalan tingkat. Kasus jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan
jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam
bentuk syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa secara nyata ikut serta
dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas
beberapa aspek dari sengketa tersebut. Mediasi, sebaliknya pihak yang melakukan
mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif dan ikut serta dalam
negosiasi-negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian
rupa sehingga jalan penyelesaiannya dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang
diajukannya tidak berlaku terhadap para pihak.
3). Konsiliasi (Conciliation)
Menurut the Institute of
International Law melalui the Regulations the Procedur of International
Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai
suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu komisi
yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan
dengan proses penyelesaian pertikaian. Istilah konsiliasi (conciliation)
mempunyai arti yang luas dan sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup
berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan
bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite
penasehat yang tidak berpihak. Pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan
suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta usul-usul
kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.
Menurut Shaw, laporan dari
konsiliasi hanya sebagai proposal atau permintaan dan bukan merupakan
konstitusi yang sifatnya mengikat. Proses konsiliasi pada umumnya diberikan
kepada sebuah komisi yang terdiri dari beberapa orang anggota, tapi terdapat
juga yang hanya dilakukan oleh seorang konsiliator.
4). Penyelidikan (Inquiry)
Metode penyelidikan digunakan untuk
mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau
badan untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat
internasional, yang relevan dengan permasalahan. Dengan dasar bukti-bukti dan
permasalahan yang timbul, badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang
disertai dengan penyelesaiannya. Tujuan dari penyelidikan ini adalah membuat
rekomendasi-rekomendasi yang spesifik untuk menetapkan fakta yang mungkin
diselesaikan dengan cara memperlancar suatu penyelesaian yang dirundingkan.
5.
KESIMPULAN
Dari beberapa penjelasan diatas, penulis menyimpulkan
bahwa sering kita temukan dalam setiap organisasi tentang adanya sikap pro dan
kontra dalam memandang konflik. Ada pimpinan yang memandang sengketa/ konflik
secara negatif dan mencoba untuk menghilangkan segala jenis konflik yang ada. Para
pimpinan ini bersikeras bahwa konflik akan memecah-belah organisasi dan
menghambat terciptanya kinerja yang optimal. Konflik memberikan indikasi
tentang adanya suatu ketidakberesan dalam organisasi, dan adanya
prinsip-prinsip atau aturanaturan yang tidak dilaksanakan dengan baik.
Organisasi
sebagai suatu sistem terdiri dari komponen-komponen (subsistem) yang saling
berkaitan atau saling tergantung (interdependence) satu sama lain dan
dalam proses kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Hal ini juga di perjelas
dalam Dalam Undang-undang No.30 tahun
1999 penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian
sengketa yang dilakukan dengan cara pertemuan langsung oleh para pihak(
negosiasi) diberikan kerangka waktu paling lama 14 hari dan hasilkan dituangkan
dalam bentuk kesepakatan tertulis (perjanjian damai) Pasal 6 ayat (2).
SARAN
Disadari bahwa memang masih jauh
dari kesempurnaan terkait dengan penulisan dan penjelasan tentang bab diatas,
oleh karenanya, saya mengharap bagi para pembaca, khsusnya dosen kami “ ibu
ela” dapat memberi masukan yang berarti, guna unuk memperbaiki kualiatas
penulisan berikutnya. Untuk saran dan kriikan dapat melalui email saya di (sofyanamarta@gmail.com).
0 komentar: